Tuesday 22 September 2015

The Important Things in Life


Dari kecil, gue udah terbiasa untuk bersyukur atas apa yang gue punya. Bersyukur karena udah diberi hidup, diberi badan yang sempurna, diberi kedua orang tua yang menyayangi gue, diberi sedikit keahlian (dan keberuntungan) dalam menulis, memprogram dan masih banyak lagi. Semua itu nggak lepas dari yang di "atas".

Setiap gue pengin sesuatu, entah barang atau apapun itu, gue selalu berusaha untuk mendapatkannya. Di dalam otak gue, ada satu syaraf yang selalu menyampaikan pesan: If you can see it, you can have it. Yeah, kalo gue pengin sesuatu itu, asalkan gue udah liat, gue pasti bisa mendapatkanya. Bagi gue, sesuatu yang didapat dengan usaha sendiri itu jauh lebih "bermakna" ketimbang sesuatu yang didapat karena meminta kepada orang tua sambil merengek selama 3 bulan pake nangis.

Sesuatu yang didapat dengan usaha sendiri membuat gue lebih berhati-hati dalam menggunakan atau menghabiskannya. Misalnya, gue bela-belain kerja part-time jadi ojek sepeda sepulang sekolah . Niat gue ngumpulin duit untuk bisa beli buku-buku terbaru yang terbit di Gramedia. Pulang sekolah, bukannya langsung ke rumah terus belajar, gue malah ngambil sepeda dengan buru-buru dan menuju pangkal ojek sepeda di depan rumah guru. Siang panas-panasan, keringat mulai berjatuhan, kemeja mulai basah nggak karuan, tapi demi bisa beli buku, gue bekerja mati-matian.

Setelah seminggu lamanya gue bekerja part-time sebagai ojek sepeda, akhirnya duit selama bekerja itu pun terkumpul untuk bisa membeli buku-buku di Gramedia. Gue lalu ke Gramedia dengan sepeda, mencari buku-buku baru, membaca sinopsisnya yang semoga aja bisa membuat gue tertarik untuk membelinya, kemudian membayarnya di kasir. Pulang dari Gramedia, gue puas karena bisa mendapatkan apa yang gue mau dengan usaha sendiri.

Gue jadi lebih berhati-hati membaca buku yang gue beli tersebut. Membalik halamannya dengan penuh kasih sayang, berharap nggak lecek sedikitpun. Selesai baca, gue taruh di rak buku dengan kehangatan tangan ojek sepeda yang gue punya. Menaruhnya dengan beberapa koleksi buku yang sebelumnya udah ada di sana, sembari tersenyum puas karena bahagia.

Kalo ada yang mau minjem buku yang gue beli tersebut, gue juga bakal mikir-mikir buat mengizinkannya. Kalo rusak gimana? Kalo lecek gimana? Kalo nanti nggak dibalikin gimana? Itu kan hasil kerja keras gue, ngorbanin waktu istirahat dan belajar, panas-panasan di pangkalan, betis jadi gede gara-gara goes sepeda, dan kelelahan karena penumpang banyak banget.

Nah, dari contoh di atas, gue jadi lebih berhati-hati dalam menggunakan sesuatu yang gue dapat dengan usaha sendiri. Beda ceritanya kalo gue ngerengek sama orangtua selama 3 bulan, minta beliin sepeda kayak gini:


Setelah dibeliin, gue bakal make seenaknya. Tanpa peduli sepeda itu mau rusak atau hancur nantinya. Pulang ngojek sepeda seperti biasa, bukannya markir dengan bener, gue malah geletakin gitu aja di depan rumah. Secara otomatis, di otak pasti tertanam "Ah bodo amet, kalo rusak kan tinggal minta lagi." Nah, perbedaannya terletak di sini. Gue berhati-hati dalam menggunakan sesuatu karena gue inget, usaha gue untuk mendapatkannya nggak mudah. Gue seenaknya dalam menggunakan sesuatu karena gue inget, ini kan gue dibeliin sama orang tua. Jadi kalo rusak, ya tinggal minta lagi.

Yap, maknanya berbeda. Beberapa orang kebanyakan pengin yang instan, daripada usaha sendiri untuk mendapatkannya. Beberapa orang seharusnya malu, karena dengan pikiran "Ah, gue bisa minta orangtua gue beliin lagi", mereka secara nggak langsung bakal tumbuh dengan manja, selalu mengandalkan orang lain. Memang, kita ini makhluk sosial, yang membutuhkan orang lain untuk hidup. Tapi, apakah kalian nggak mau usaha sedikit, tanpa merepotkan orang lain, demi sesuatu yang kalian impikan? Apakah kalian harus selalu mengandalkan orang lain, demi sesuatu yang nantinya bakal kalian pamerkan ke teman-teman? Kalo nggak mau berjuang untuk mendapatkan sesuatu, cukup berhentilah berharap untuk mendapatkannnya.

Gue pernah denger cerita yang menginspirasi dari negeri China. Ada seorang gadis kecil, bernama Ma Yan, yang berjuang demi mendapatkan pendidikan. Ma Yan harus menempuh perjalanan sejauh 20km untuk mencapai sekolahnya. Suatu saat, Ma Yan ingin membeli sebuah pena seharga 2 yuan, setara dengan uang jajannya selama 2 minggu. Uang jajannya itu nggak dipakai buat jajan, tapi untuk membeli sedikit sayur dan lauk sebagai teman makan siangnya dengan nasi putih. Uang jajan itu juga lah yang harus dipakainya untuk transportasi, naik traktor, apabila suatu saat Ma Yan merasa capek berjalan sejauh 20km. Karena keinginannya yang kuat untuk mendapatkan pena tersebut, Ma Yan rela menahan diri untuk menikmati nasi putihnya tanpa sayur ataupun lauk.

Selama 3 minggu, Ma Yan harus makan nasi putih TANPA ada sayur dan lauk. Bahkan, garam pun nggak ada untuk menghilangkan rasa tawar di mulutnya itu. Hingga pada satu saat, Ma Yan bener-bener nggak mampu menelan nasi putih tersebut bila nggak dipaksa. Ma Yan merasa mual dan ingin muntah. Ma Yan pun harus berpuasa selama 24 jam demi mendapatkan bakpao sebagai menu makan malamnya di asrama setiap hari. Pagi harinya, Ma Yan hanya mendapatkan secangkir teh panas TANPA ada sesuatu lagi untuk dimakan.

Karena keterbatasan biaya, ibu Ma Yan harus memilih antara Ma Yan atau adiknya yang harus sekolah. Ma Yan protes, dalam sebuah tulisan di balik bungkus tepung yang dibacakannya di depan ibunya (ibunya buta huruf). Katanya: "Ibu, aku tak mau berhenti sekolah. Lakukan sesuatu agar aku bisa tetap sekolah sehingga nasib kita bisa berubah." Ma Yan menunjukkan kepada ibunya, keinginannya yang kuat untuk sekolah.

Pena yang dulu diimpikan oleh Ma Yan, akhirnya mengantarkan lembaran "buku harian"-nya ke sebuah grup petualang dari Perancis yang sempat datang ke desa tempat Ma Yan tinggal tersebut. Ibu Ma Yan yang menyerahkan lembaran buku harian itu berasumsi bahwa para petualang dari Perancis sedang mencari anak pintar di desanya. Kehilangan buku harian tersebut membuat Ma Yan merasa kehilangan sebagian besar jiwanya. Tapi, sang Ibu meyakinkan bahwa naluri seorang Ibu nggak akan salah. Dan benarlah naluri Ibu Ma Yan. Kisah dalam lembaran buku harian itu berhasil diangkat menjadi sebuah buku yang berjudul: The Diary of Ma Yan: The Struggles and Hopes of a Chinese Schoolgirl. 

Cerita di atas menginspirasi gue, biar gue bisa lebih bersyukur terhadap kondisi dengan segala keterbatasan yang ada. Gue harus selalu berusaha, sebelum mengandalkan orang lain. Karena itu, gue selalu menanamkan kalimat ini di kepala gue: Lihat "ke atas" biar kita tahu diri, lihat "ke bawah" biar kita selalu bersyukur. Ya, dengan itu, gue belajar bahwa sehebat apapun gue, gue harus tahu diri, gue sadar bahwa pasti ada aja yang lebih hebat dari gue. Seburuk apapun gue, gue harus selalu bersyukur. Gue nggak bakalan mau sombong, karena gue sadar, gue masih memerlukan oksigen untuk napas.


Gue juga sadar, gue masih mampu berusaha, makanya gue nggak pernah minta-minta. Gue selalu inget, siapa aja yang ada di sebelah gue saat gue bukan siapa-siapa, saat gue ada di bawah, sampai kayak sekarang ini. The important things in life, jangan pernah berhenti berusaha dan jangan menyerah mendapatkan apa yang kalian mimpikan. Selalu ingat untuk bersyukur atas apa yang udah diberikan.
Share:

2 comments:

  1. Hasil usaha sendiri rasanya memang greget ya gan buat diperjuangin,
    Bahkan ni laptop w yang lemot aja masih w sayang-sayang, soalnya waktu dulu kredit nya lama nih.. penuh dengan perjuangan..

    Tapi, sampe sekarang w belum bisa buat ngasih ke ortu. Entah mungkin karena w masih egois pengen ini pengen itu. Ujung-ujungnya ya.

    Dan, sampe w nemuin pekerjaan tetap, w harus terus dan terus untuk berusaha.

    ReplyDelete
  2. berusaha aja biar bisa menjadi yang terbaik :)

    ReplyDelete

Kalau Komentar Jari Lu Dijaga Ya, Kali Aja Ada Jodoh lu Lewat disini, trus liat komentarlu kotor, jadi jodohnya pindah ke hati orang lain...